Heeseung sejujurnya lelah, sangat lelah.
Sudah sejak pagi ia dan anggota yang lain ada di ruang latihan, menyempurnakan koreo rumit nan melelahkan untuk persiapan comeback mereka dalam beberapa bulan mendatang.
Kaus yang ia kenakan sudah menempel di tubuhnya karena keringat, pun nafasnya yang sudah memburu. Namun, belum ada pertanda dari pelatih mereka untuk mengakhiri sesi latihan super melelahkan itu, yang ada beliau terus meminta mereka mengulang sampai koreonya tampak sempurna.
“Heeseung!!” yang dipanggil tersentak, member lain bahkan sampai ikut terhenyak akan panggilan yang menggelegar di ruangan besar itu.
“langkahmu salah terus!! Kamu juga tertinggal beberapa step dari yang lain! Ada apa denganmu huh?!!”
Heeseung menggigit bibir, kepalanya tertunduk dalam, tak berani menatap mata si pelatih yang tampak galak.
“Fokus Heeseung! Dua bulan lagi kalian akan comeback tapi progresmu masih seperti ini! Kamu mau jadi penghambat karir rekan rekanmu?!”
Heeseung menggeleng ribut kala mendengar kalimat barusan. Oh yang benar saja, Heeseung tidak mau jadi penghambat karir member tersayangnya. Memikirkannya saja tidak mau, malah membuat hatinya sakit sekali.
Tapi ia juga tidak bisa berbohong kalau tubuhnya sudah lelah, rasa lelahnya yang membuat dirinya selalu hilang fokus. Belum lagi dengan keadaan perut kosong sedari pagi. Heeseung ingin ambruk saja rasanya.
Namun, benaknya langsung terpikir kalau bukan dia saja yang lelah, member yang lain juga sama lelahnya dengannya. Heeseung harusnya bisa lebih kuat lagi, ia harus bisa menahan rasa lelahnya dan menjaga fokusnya di depan adik-adiknya yang lain.
“M-maaf noona…”
Lirih terdengar suaranya, namun masih dapat ditangkap telinga sebab sunyi yang mendadak di ruang latihan enhypen saat itu.
“Ini sudah kelima kalinya dalam hari ini kamu hilang fokus Heeseung! Kamu sebenarnya mau comeback atau tidak sih?!”
Kepala Heeseung makin dalam tertunduk, bibirnya kembali ia gigit mencoba untuk menahan isak yang akan keluar sebab sekarang ia rasa pandangannya mulai memburam. Ujung kaus yang sedari tadi digenggam pun tampak mulai kusut.
“Kita break dulu 15 menit!” Ujar si pelatih kemudian. Terdengar helaan nafas lega dari member lain dan beberapa backup dancer disana.
Heeseung lantas bergegas keluar ruangan besar itu, tak menghiraukan tatapan kebingungan dari adik-adiknya.
Pandangannya mengabur karena air mata yang siap jatuh kapan saja.
Tidak!
Heeseung tidak boleh menangis sekarang, tidak di tempat terbuka yang banyak sekali orang berlalu lalang. Maka Heeseung bawa kakinya menuju toilet gedung kantornya, dengan segera mengunci diri dalam bilik toilet yang jarang digunakan orang-orang.
Bak air bah yang sudah tak terbendung waduk, air mata Heeseung mengalir deras, bersamaan dengan isakan-isakan yang terus keluar dari bibirnya. Tubuhnya yang sedari tadi bergetar pun merosot.
Heeseung meringkuk dalam kubikal sempit itu, memeluk lututnya sendiri seraya menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakannya yang makin keras terdengar.
Namun upayanya tadi payah, isakan-isakan tadi berubah menjadi cegukan dan air mata yang terus mengalir seperti tak mau berhenti.
“M-mau… p-pwulawng…” bisiknya pelan. Perlahan kepalanya mulai merasakan ringan yang tak menyenangkan. Gendang telinganya juga mulai sakit–sensitif terhadap suara-suara yang ada, tangisannya pun semakin kencang. Heeseung regress di toilet gedung kantornya.
Tidak ada yang tau Heeseung regress ke usia berapa, tidak ada ‘orang dewasa’ di sekitarnya saat itu.
“S-Seungie… m-mawu pwulang… Seungie… ouchie — ” rengekan Heeseung dibarengi dengan isakan yang tak kunjung berhenti. Tangannya kian gemetar, meremas fabrik celananya hingga kusut tak berupa. Pipi gembil dan hampir seluruh wajahnya memerah, kilat basah sebab air mata pun semakin tercetak di parasnya.
Heeseung mulai rasakan pening sebab terus menangis. Heeseung tidak tau seberapa kencang tangisannya sampai tak menyadari suara langkah kaki yang mendekat menuju kubikalnya.
Kedua tangan Heeseung refleks menutup mulutnya rapat-rapat, guna menahan isakan keluar darinya, saat ketukan halus terdengar di pintunya.
Tangannya masih setia mengunci bibirnya, namun air mata senantiasa mengalir menuruni pipinya yang sedari tadi basah. Heeseung benar-benar tidak tau harus berbuat apa, ia takut sekali jika orang asing yang sedang menunggu diluar.
“Hyung?…” panggil seseorang dibalik pintu. Itu seperti… suara Jungwon!
Oh no…
“Hyung… ini aku, hyung gak apa-apa? Boleh buka pintunya sebentar?” ujar Jungwon lagi.
Heeseung panik, matanya erat terpejam, air mata tak kunjung berhenti mengalir. Tidak… Jungwon tidak boleh melihatnya seperti ini, tapi ia juga lelah menangis. Kepalanya sakit, dia mau pulang —
“Gak apa-apa hyung, gak ada siapa-siapa disini. Boleh buka pintunya sebentar buat aku?”
Ada jeda beberapa menit sebelum kemudian pintu yang sedari tadi terkunci itu terbuka, sedikit demi sedikit menampakan Heeseung yang bercucuran air mata.
Nafas Jungwon tercekat, hatinya mencelos begitu melihat keadaan kakak tertuanya. Wajahnya memerah, pipi serta kedua mata cantik itu basah akan air mata. Astaga… sudah berapa lama Heeseung hyungnya menangis disini?! Pikirnya.
Bukan itu saja yang membuat hati Jungwon tercubit, namun panggilan yang entah secara tidak sadar keluar dari bibir si kakak tertua yang diselingi cegukan.
“H-hyungie… Won ‘yungie…” lirih Heeseung.
“Astaga hyung!” dengan sigap Jungwon segera meraih Heeseung dalam pelukannya. Pikir yang lebih muda, mungkin kakak tertuanya ini masih sangat sensitif sebab emosi yang tak terbendung kala rasakan Heeseung yang langsung memeluk erat lehernya seraya meremas bagian belakang hoodienya itu.
Jungwon makin merasa iba, apalagi mendengar isakan yang masih keluar dari bibir Heeseung.
“Hyung… sudah, gak apa-apa…” ujar Jungwon, tangannya yang bebas memberikan elusan-elusan menenangkan di punggung yang terlihat masih bergetar itu. Namun, yang Jungwon rasakan malah gelengan kepala dan rengekan kecil dari yang lebih tua.
“Hnngg… no hyung” suara Heeseung teredam hoodie, namun masih cukup jelas untuk Jungwon dengar. Pemuda Yang itu jelas terlihat bingung, apa maksud dari kakak tertua di grupnya ini?
“Maksud hyung?” Jungwon bertanya hati-hati, suaranya terlampau pelan.
“Eumm!! No hyung! Seungie! No hyung…” kembali gelengan yang kali ini lebih kencang diberikannya, dan Jungwon tidak salah dengar kan? Kakak tertuanya baru saja merengek.
Menggemaskan tapi juga buat Jungwon termenung.
Satu menit dihabiskan untuk si pemuda Yang memproses hal yang baru saja terjadi, hingga akhirnya Jungwon mendapat jawabnya.
Littlespace, Jungwon ingat ia pernah membaca salah satu artikel tentang topik ini. Semacam bentuk pelarian dari stres dan penat seseorang dengan masuk ke dalam pola pikir seperti anak-anak atau balita. Kurang lebih begitu yang Jungwon ingat.
Maka dengan perlahan dan lembut, Jungwon mencoba melepaskan pelukan Heeseung yang masih menggelayut di lehernya dengan nyaman — Jungwon sedikit kewalahan dibuatnya sebab Heeseung yang malah merengek dan seperti akan menangis lagi. Namun, Jungwon akhirnya dapat mendudukan diri di kloset tertutup dalam kubikal sempit itu serta membuat Heeseung duduk tepat di atas pangkuannya.
“It’s okay errr…. Sseungie? Sseungie capek ya? Mau pulang — huum?” Jungwon berujar lembut selayaknya berbicara pada balita, yang tentu saja diangguki oleh si ‘balita’.
“Sseungie ‘ead ouchie hyuung,,, sseungie mawu pwulang….”
Mata cantik itu kembali berkaca-kaca, isakan-isakan kecil pun mulai kembali muncul. Tangannya menyentuh kepalanya, mengisyaratkan pada ‘yang lebih tua’ kalau kepalanya sedari tadi sakit.
“Iya? Mana lagi yang sakit sayang?” refleks, sumpah Jungwon sendiri tidak sadar panggilan tadi meluncur begitu saja dari bibirnya.
“Inina ouchie — ” Heeseung menunjuk tangannya, “ini juda ouchiee — ” kemudian kedua lututnya, “tupingna sseungie juda ouchie hyung…” terakhir si little menyentuh kedua telinganya dan ditutup dengan isakan kecilnya.
“Hiks…. Sseungie mawu powwie hyungg…. hiks”
Jungwon tidak bisa menahan rasa gemasnya kalau boleh jujur. Apalagi sebab pipi gembil yang memerah karena banyak menangis itu, ingin Jungwon cubit gemas saja rasanya.
Meskipun begitu, ia harus tetap terlihat tenang, little dalam pangkuannya ini pasti sudah kelelahan dan tidak nyaman berbalut kaus tipis penuh keringat serta air matanya.
“Sayang….” ujar si pemuda aquarius lembut. Tangannya yang tak berada di pinggang Heeseung untuk menjaga si little agar tidak terjatuh, ia bawa untuk mengelus wajahnya. Menghapus titik-titik air mata yang kembali basahi pipi gembil itu.
“Kita pulang ya? Sseungie mau powwie, sayang?” Anggukan dari si little didapat Jungwon, meskipun ia sendiri tidak tau powwie itu apa atau siapa.
Namun pertanyaan Jungwon selanjutnya malah dijawab dengan gelengan kuat dari si little.
“Okay, kita pulang ya. Sseungie bisa jalan sendiri, sayang?” Heeseung langsung memeluknya erat, hoodienya juga kembali digenggam.
“Sseungie…. upsies…” gumam si little dalam ‘persembunyiannya’ di ceruk leher Jungwon.
“Susah dong sayang, kalau Sseungie mau upsies nanti hyung jalannya gimana? Sseungie jalan sendiri gak apa sayang?”
Heeseung mengerang, gelengan ribut dirasakan Jungwon di ceruk lehernya. Samar-samar, isak tangis dari si little kembali terdengar.
Jungwon menghela nafas panjang, ia tak akan mengira akan sesulit ini mengatasi Heeseung yang menjadi little di tempat umum. Belum lagi ini pertama kalinya bagi Jungwon menemukan kasus littlespace secara langsung.
“Sweetheart — ” panggilan baru keluar dari bibirnya, “my sweet sweet angel, Sseungie jalan sama hyung dulu ya? Sekali ini aja, sampai di rumah nanti hyung upsies yang lama. Ya sayang?”
Heeseung baru akan protes, namun pada akhirnya anggukan kecil diberikan si little. Jungwon bernafas lega. Bukan kok, Jungwon bukan tidak mau menggendong little Heeseung keluar dan pulang — oh jalan kaki sambil menggendong si little pun sepertinya ia bersedia — Jungwon cuma tidak ingin banyak mata yang melihat mereka berdua.
Apalagi keadaan Heeseung yang sedang little, Jungwon hanya ingin menghindari desas desus aneh tentang si little. Bagaimanapun juga, hal ini masih dianggap tabu bagi sebagian orang. Terlebih mereka merupakan public figure, ia tau seberapa ‘jahat’ media dan masyarakat dalam mendepiksi suatu keadaan dan menjadikannya bahan olok-olok. Jungwon hanya ingin menjaga Heeseung dari hal tersebut.
Jungwon juga yakin, Heeseung sebenarnya pasti tidak akan membiarkan siapapun tau akan kondisinya ini, bahkan pada anggota grupnya sendiri.