Genap dua tahun, seorang Marcelyn Lee melebarkan sayapnya di ranah model. Tentunya bukan perjalanan yang mudah buatnya bisa mencapai di titik ia berada sekarang. Marcy sempat ditolak di beberapa agensi model karena takdirnya yang seorang omega, omega resesif pula. Terlalu banyak orang-orang yang berpikiran sempit di dunia ini untuk menerima bahkan mempekerjakan omega resesif dengan pekerjaan yang layak dan setara dengan second gender yang lain. Belum lagi cibiran serta tentangan lain yang datang padanya.
Tapi Marcy tidak goyah, ia tidak gentar hanya karena mendapat cemoohan serta penolakan dari orang-orang closed minded diluar sana. Toh bukan mereka yang menentukan nasibnya hidup di dunia penuh hingar bingar ini. Dengan ketekunan serta profesionalitas yang ia miliki, mengantarkan dirinya pada posisinya sekarang.
The brand new breeze, sebutannya di kancah permodelan. Hadirnya Marcy di dunia model memang membawa angin baru untuk bidang tersebut. Kepiawaiannya dalam mengeksekusi sebuah mode dengan visualnya sendiri saja, patut diacungi jempol.
Orang-orang di luar sana pasti berpikir, dengan kegigihan serta ambisi yang dimiliki Marcy, omega itu pasti tangguh dan keras pada dirinya sendiri. Memang benar, Marcy memang keras pada dirinya sendiri, cenderung selfless dan tidak mudah puas. Tapi untuk tangguh — Marcy sendiri tidak tahu.
Terlebih ketika ia baru saja dituding terang-terangan hendak pansos oleh — mantan — idolanya sendiri. Marcy kecewa berat, ia sakit hati. Mungkin ia memang seorang omega resesif, tapi ia tetap punya harga diri. Dituding yang tidak-tidak oleh seorang alpha jelas menyakiti harga dirinya. Sebut saja perkataan dari alpha dominan yang menyebalkan tadi itu sangat berdampak padanya. Begitu Marcy pergi dari ruangan alpha tersebut, setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya. Marcy menangis, ia menghapus jejak air matanya dengan kasar seolah tak peduli kalau riasannya rusak.
Marcy benci sekali perasaan seperti ini, perasaan lemah dan kecil dihadapan orang lain. Tak seharusnya ia biarkan si alpha menginjak-injak harga dirinya. Berkali-kali ia umpati alpha menyebalkan itu, berharap semoga si alpha tersandung meja lalu terluka dan membatalkan kontraknya dengan proyek ini.
“Cy…” panggil seseorang, tapi tak ia indahkan, “udah dong, yang tadi tuh mungkin cuma salah paham aja. Kamu sendiri tau kan Aiden itu artis gede, pasti banyak yang deketin dia karena pamornya”
“Jadi Kak Rayes belain si alpha jahat itu?” Marcy menatap kakak sepupu sekaligus managernya itu tak percaya, “Kak… I just got insulted by an arsehole alpha! Kakak harusnya belain aku!”
“Kakak gak belain dia sayang… kakak cuma bantuin kamu buat paham aja”
“Paham kalo ternyata Aiden Kim itu alpha paling brengsek yang pernah ada? No need kak, aku udah paham begitu ketemu sama dia tadi”
Rayes mendesah gusar, terlampau hapal perangai adik sepupunya kalau sudah merajuk — apalagi sampai menangis — seperti ini pasti akan sulit sekali untuk dibujuknya. Marcy sudah tidak menangis memang, tapi omega tinggi itu masih terisak kecil. Rayes jadi bingung sendiri mau menenangkan si omega dengan cara apa lagi, jadi yang dilakukan hanya merengkuh si omega dan memberikan elusan menenangkan.
Tak lama suara ketukan pada pintu ruang tunggu Marcy terdengar. Yang lebih tua disana lantas bangkit untuk membukakan pintu. Entah kebetulan dari mana, orang yang baru saja mengetuk adalah orang yang menjadi alasan Marcy menangis. Benar, itu Aiden.
Rayes kembangkan senyum seramah mungkin, “Aiden? Ada yang bisa aku bantu?”
Mendengar nama yang disebut kakak sepupunya itu Marcy refleks menegang. Mau apa lagi si alpha brengsek itu sampai mendatanginya, pikir Marcy.
“A — ”
“Mau ngapain lo kesini?!” Rayes terkejut bukan main. Belum sempat alpha di depan mereka menyampaikan maksudnya, Marcy sudah berada di belakangnya menyambar dengan nada ketus.
“Ada yang mau gue omongin sama lo” ujar si alpha, seolah tak terkejut dengan nada ketus yang Marcy lontarkan.
“Emang ada hal lain yang perlu gue denger dari mulut sialan lo itu?” Rayes refleks melotot ke arah omega yang lebih muda. Pemuda beta itu lantas memberi isyarat untuk lebih sopan pada alpha di hadapan mereka, namun tak diindahkan olehnya.
“Lo emang selalu ketus ke orang lain kayak gini kah? Gue dateng bukan mau ngajak berantem” desau Aiden.
“Nope, gue begini ke lo doang. Dan gue gak pernah menganggap kedatangan lo sebagai lambang perdamaian either” kembali Marcy menjawab dengan ketus.
Bukannya menyerah atau apa, si alpha malah menyunggingkan seringai seraya melipat tangan di dada. “Funny, how that was came from someone that used to adore me so much”
Aiden mendengus remeh, mendapati omega resesif itu tergugu dengan mata bambinya yang makin membulat. Marcy seolah bisa merasakan emosinya naik sampai ke kepala, alpha brengsek ini benar-benar menyebalkan.
“Kalau emang gak ada hal yang mau lo sampein you better get the hell outta my face. Gue gak mau denger omongan apapun dari alpha brengsek that full of himself, like you!”
Tak menunggu respon apapun dari alpha itu, Marcy membanting pintu ruang tunggunya tepat di depan muka Aiden. Suara yang menggelegar itu bahkan mengundang beberapa pasang mata staf yang ada disana untuk melirik ke arahnya. Untuk pertama kali selama 23 tahun hidupnya, Aiden bertemu omega resesif paling pongah seperti Marcelyn Lee.
Harga diri Aiden sebagai seorang alpha seolah tercoreng sebab diperlakukan tanpa segan oleh seorang omega resesif. Dengan perasaan dongkol, Aiden kembali ke ruang tunggunya. Yelena yang sedari tadi sudah menunggu Aiden pun lantas menghampiri si alpha begitu batang hidungnya nampak oleh mata.
“Gimana? Udah minta maaf ke Marcy?” tanya si perempuan beta.
“Gak jadi” jawab Aiden sekenanya. Hal itu lantas membuat Yelena memekik.
“Kok?! Gue kan udah suruh lo minta maaf?! Kenapa gak — -”
“Fuck Yelena!! Gue gak sudi minta maaf sama omega resesif kayak dia!” Yelena bungkam, nada Aiden tadi tinggi sekali, bersyukur ruang ini kedap suara.
“Dia partner lo di proyek ini, Den. And this is not just a small project. Kalian juga baru ketemu, harusnya kalian bisa bangun chemistry buat — ”
“Oh fuck that! Fuck that omega!” pekik Aiden, kedua alisnya bertaut akan emosi yang membumbung tinggi. “Lo siapa bisa nyuruh gue buat minta maaf ke omega, huh?! Lo cuman manager gue! And you’re just a beta, stop acting like you have control of me!”
Yelena terhenyak sesaat. Tak menyangka Aiden akan membawa second gender dalam argumennya.
“Fine, I won’t do that again. Gue sebenernya cuman mau ngingetin lo aja supaya karier lo ga ikut terancam. But I guess you won’t even take my advice, do you?”
Yelena menghela nafas berat, sebelum akhirnya pergi. Pikirnya berargumen dengan alpha dominan yang sedang emosi tinggi bukan hal yang bijak. Jadi ia memilih untuk membiarkan si alpha itu tenang sendiri.
Aiden langsung jatuh terduduk, begitu pintu ruang tunggunya tertutup. Nafasnya memburu, bibirnya berbisik, menghitung dari satu sampai dua puluh seraya mengatur nafasnya, persis seperti apa yang terapisnya anjurkan.
“Brengsek” umpatnya pelan, entah pada apa. Aiden benar-benar pening. Memang sedari awal ia tidak usah berhubungan dengan omega.
“Feromon sialan” umpatnya lagi seraya menarik nafas dalam-dalam.